SEJARAH OBYEK WISATA PLANGON KABUPATEN SUMBER 

Pada abad XIV Pangeran Panjunan dan adiknya, Pangeran Kejaksan, datang ke Giri Toba beserta pasukannya yang berjumalah sekitar enam puluh orang. Sebelum memasuki Giri Toba, Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan terlebih dahulu memantau daerah disekitarnya dan memerintahkan pasukannya untuk membuat tempat peristirahatan, tempat peristirahatan ini kemudian dikenal dengan nama Plangon. Setelah membuat tempat peristirahatan, Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan mendirikan pandai besi untuk membuat alat-alat pertanian seperti perkakas golok, gergaji, parang, cangkul, bajlong, bodem, linggis, serta perkakas lainnya. Pandai Besi ini kemudian diberi nama Pande Domas yang berlokasi disebelah barat jembatan gantung yang melintas menuju daerah Wanantara. Di Pande Domas ini pula Pangeran Panjunan menanam tujuh buah pohon beringin sebagai kenang-kenangan atas keberadaan mereka ketika bermukim, ketujuh beringin itu oleh masyarakat babakan dikenal dengan nama Beringin Pitu. Karena daerah ini sering terkena longsor dan erosi, Pande Domas kemudian dipindahkan ketempat lain yang tidak jauh dari lokasi sebelumnya. Setelah mendirikan Plangon dan Pande Domas, Pangeran Panjunan memerintahkan pasukannya untuk segera memulai pekerjaan membangun pemukiman. Pasukan Pangeran Panjunan membangun pemukiman dengan cara meratakan gundukan-gundukan tanah dan menebangi pohon sehingga menjadi sebuah lapangan luas. Karena tempat yang dijadikan pemukiman itu dibuka dengan cara menebang pohon dan meretakan bukit (bahasa cirebon: ''Babak'') maka tempat itu dinamakan Babakan. Ketika itu Pangeran Panjunan telah menjadi pimpinan yang memegang wilayah antara panjunan dan kejaksan.

 LARANGAN
 Ada sebuah larangan di Babakan yang hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat di daerah tersebut, yaitu dilarang membuat sumur dan menanam mentimun. Hal ini berkaitan erat dengan sejarah pengangkatan kepala desa pertama di kelurahan Babakan. Alkisah, setelah Babakan berkembang menjadi sebuah pedukuhan, para Ki buyut yang bermukim didaerah itu sepakat mengangkat Ki Buyut Atas Angin menjadi Ki Gede Babakan atau kepala desa. Ketika Ki Buyut Atas Angin melakukan perjalanan untuk mengetahui daerah disekitar Babakan, ia diikuti oleh Ki Gede Seda yang ingin menghentikan perjalanannya. Karena merasa diacuhkan, Ki Gede Seda menjadi sangat marah dan menantang Ki Buyut Atas Angin untuk bertanding mengadu kesaktian. Ki Buyut Atas Angin terpaksa melayani tantangan itu dan terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya. Ki Gede Seda dengan licik telah membuat ranjau berupa sumur yang sangat dalam ditutupi oleh tanaman mentimun yang menghijau, sehingga tidak terlihat bahwa didalamnya ada sebuah sumur. Sumur ini digunakan Ki Gede Seda untuk membunuh Ki Buyut Atas Angin. Setelah membuat ranjau, Ki Gede Seda mendorong Ki Buyut Atas Angin hingga terperosok kedalam sumur, kemudian Ki Gede Seda melemparinya dengan batu-batu besar. Setelah dirasa Ki Buyut Atas Angin telah tewas, Ki Gede Seda mendekati tepi sumur, namun tanpa diduga, Ki Buyut Atas Angin melesat keluar dari sumur itu dan menarik Ki Gede Seda untuk menggantikannya. Pertarungan itupun akhirnya dimenangkan oleh Ki Buyut Atas Angin. Setelah pertarungan selesai, Ki Buyut Atas Angin melanjutkan perjalanannya untuk pulang, dan menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya kepada penduduk Babakan. Akibat dari kejadian itu, para Ki Buyut dan penduduk Babakan sepakat untuk tidak membuat sumur dan menanam mentimun.